PENYESALAN
Hari
ini puncak Bukit Barisan tertutup kabut. Kehijauan puncaknya terlihat samar
karena tertutup kabut putih. Dari tingkat dua ruang kelas di SMU 2 Ratu, aku
memandangi kabut tipis itu dengan perasaan galau.
Hatiku
memeng tengah gundah. Kegundahanku sebenarnya di mulai sejak dari rumah tadi
pagi. Ketika keluar dari kamar, aku kaget menemukan rumah sudah kosong. Jam
menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit. Dua puluh menit lagi bel
berbunyi. Mengapa tak ada yang membangunkanku? Kemana orang- orang serumah, ya?
“Ma...,
mama...! “Aku mengetuk pintu kamar mama untuk membangunkannya. Tak ada jawaban.
Aku langsung ke kamar mandi. Selesai mandi, cepat-cepat aku berpakaian dan
menyambar tas di atas meja belajar. Buku-buku kumasukan seadanya. Melewati
kamar mama, aku lagi-lagi heran. Pintu kamar mama masih terkunci rapat. Dentang
jam dinding menunjukkan pukul tujuh tepat membuatku tak sempat berpikir
panjang. Melewati pintu depan yang terasa lebih ringan dari biasanya aku
langsung menyetop becak. Sialan, si abang becak malah cuek aja. Berlari kecil
aku mengejar becak yang seolah tak memperdulikanku. Aku melompat naik.
“Ratu
2 Bang, “kataku pada tukang becak yang tetep cuek.
Becak melaju santai. Berkali-kali aku
melotot pada tukang becak, tapi dia seolah menggangapku tak ada.
“becak,”
panggil seorang ibu.
Herannya
becak menepi dan si ibu yang bertubuh subur naik hingga aku hampir terjepit.
Cepat-cepat aku melompat turun sambil menggerutu. “Memangnya angkot.” Becak
sudah ada penumpangnya kok di-stop. Mana becaknya mau lagi. Memangnya tak ada
becak lain. “Aku ngedumel panjang-pendek.
Akhirnya
sampai juga aku di depan gerbang. Pak mukri berdiri di depan pos. Aku
melewatinya sambil menunduk. Dia paling sering menegurku karena aku suka
melinting lengan bajuku. Tapi kali ini beliau tak memperdulikan aku. “mungkin
dia bosan menegurku terus,” pikirku.
Sesampaiku
didalam kelas, tak ada seorang teman yang menyapaku. Aku mulai bingung dengan
kondisi ini. Semuanya tidak seperti biasanya, semua orang terlihat murung. “ada
apa dengan mereka?” gerutuku dalam hati. Aku berjalan menghampiri teman
sebangku ku. Aku duduk disampingnya, tapi dari raut mukanya tidak respon
sedikitpun dari kedatanganku.
“Hai, Fira...!!!” sapaku pada teman
sebangku ku.
Setelah menunggu beberapa menit, tak ada
satu kata yang terlontar dari mulutnya. Tetapi ia menjawab lewat raut wajah
yang menyedihkan, mata berkaca-kaca, dan pikiran yang kosong, entah memikirkan
apa. Aku mulai heran dan timbul tanda tangan besar di otakku
Kesana
kemari aku bertanya pada orang yang ku temui, tapi tak ada satu jawabanpun yang
terlontar dari mulut mereka.
“mungkin Nila bisa menjawab
pertanyaaanku,” kataku dalam hati.
Nila
adalah sahabat terbaikku, dia yang selalu menemaniku di saat suka dan duka.
Tapi kemana dia? Dari tadi nggak kelihatan. Semua sudut sekolah telah ku
telusuri untuk mencari Nila, tapi tak juga ku jumpai. Dan akhirnya sampailah
aku di tingkat dua ruang kelas ini sambil menatap puncak Bukit Barisan dengan perasaan gundah.
“sungguh menyebalkan” gerutuku dalam
hati.
Sudah
hampir setengah jam aku memandangi puncak Bukit Barisan, tapi hatiku semakin
gundah. Tak lama kemudian Nila berlari-lari kecil di arah kananku. Dia sedang
mendapat telepon dari seseorang. Aku mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa,
baru lima langkah ku mengikutinya. Nila terdiam dan handphone yang ada di
genggamannya terjatuh, ia menangis tersedu-sedu. Aku semakin penasaran dengan
semua ini.
“Nil,
ada apa? Kamu kenapa? Nil lihat aku..! jawab pertanyaanku..! Apa yang
terjadi..? kenapa semua begini..? Terakku dihadapan Nila.
Tak
satu katapun keluar dari mulut Nila, dia juga tak memandang wajahku, dia
terjatuh dan tertunduk lesu tak berdaya dilantai. Aku masih berusaha untuk
bicara dengan Nila, tapi usahaku sia-sia. Tak lama kemudian Nila bangkit dan
berlari menuju ke pintu gerbang, aku masih mengikuti Nila.
Di
depan pintu gerbang Nila menghentikan becak. Ia bicara dengan abang tukang
becak untuk mengantarkannya kerumah sakit. Ku putuskan untuk duduk di sebelah
Nila. Di sepanjang jalan aku bertanya-tanya dalam hati, siapa yang sakit? Kenapa
aku tidak di kasih tau? Kenapa Nila semakin larut dalam kesedihan. Entah apa
yang membuat Nila sampai begini, aku bingung, aku merasa tak berguna sebagai
sahabat.
Di
lobi Rumah Sakit, Nila tergesa-gesa menuju ke suatu ruangan opname. Aku sangat
terkejut, kenapa di depan kamar itu ada Mama Papa? Mama menangis di pelukan
Papa Nila juga menangis.
Aku
berjalan menuju Mama dan Papa, sebelum aku menghampirinya, aku menengok ke
jendela ruang opname tempat Mama dan Papa duduk. Sungguh mengejutkan ternyata
yang terbaring di dalam ruang itu adalah aku. “terus aku ini siapa?”. Pikirku
dalam hati. Aku mengingat semua kejadian aneh yang ku alami sejak aku bangun tidur
tadi pagi. Di mulai aku bangun kesiangan, tak ada yang bangunin, rumah dalam
keadaan kosong, lewat pintu terasa ringan, menyetop becak tak berhenti, Pak
Mukri tak menegurku dan teman-teman yang tak menyapaku. Serta Nila yang tak
menjawab semua pertanyaanku. Aku baru sadar ini hanyalah rohku, aku juga baru
ingat kemarin aku habis kecelakaan setelah pilang dari rumah Nila. Aku di
tabrak truk yang sedang melaju kencang ketika aku menyebrang jalan, dan aku
koma sampai sekarang.
“Nil
bagaimana ini? Keadaan semakin parah.” Kata Papa pada Nila.
“ya
Om.. mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa padanya.” Jawab Nila.
“semoga
saja, Dokter sedang memeriksa keadaan di dalam.” Tutur Papa. Nila menghela
nafas panjang.
Tiba-tiba
Dokter keluar dari ruang opname. Dari raut wajah Dokter aku sudah yakin bahwa
sudah terjadi sesuatu pada ragaku. Aku masuk kedalam ruangan opname. Sedangkan Mama,
Papa dan Nila bercakap-cakap dengan Dokter diluar ruangan. Di ruang tersebut
hanya ada satu perawat yang sedang menutupi seluruh tubuhku dengan kain kafan
dan itu artinya aku sudah meninggal. Kini aku sudah beda alam dengan Mama, Papa
dan Nila. Aku sedih sekali.
Mama,
Papa dan Nila juga ikut sedih, terlebih aku adalah anak semata wayang Mama dan
Papa. Kini aku hanya bisa pasrah. Aku sudah tidak mungkin kembali disamping
mereka.
Kini
tinggal penyesalan yang meliputiku. Aku nyesel nggak nuruti semua permintaan
Mama, aku sedih aku belum bisa banggain Mama dan Papa. Aku nyesel, aku sering
bantah guru, sering melanggar peraturan sekolah. Dan sekarang aku hanya bisa
pasrah, semuanya sudah tidak bisa ku perbaiki lagi. Kini tinggal pertanggung
jawabanku dihari nanti.
penyesalan memang slalu gtang terlambat....
BalasHapuswes than banting kox,,,
don't cry,,,
oK,,
yesss
BalasHapusnggeh
BalasHapus