Pages - Menu

Recent News

Diberdayakan oleh Blogger.

About

RSS
Container Icon

Minggu, 05 Oktober 2014

Tugas Bahasa Indonesia Cerita Ulang



PENYESALAN
            Hari ini puncak Bukit Barisan tertutup kabut. Kehijauan puncaknya terlihat samar karena tertutup kabut putih. Dari tingkat dua ruang kelas di SMU 2 Ratu, aku memandangi kabut tipis itu dengan perasaan galau.
            Hatiku memeng tengah gundah. Kegundahanku sebenarnya di mulai sejak dari rumah tadi pagi. Ketika keluar dari kamar, aku kaget menemukan rumah sudah kosong. Jam menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit. Dua puluh menit lagi bel berbunyi. Mengapa tak ada yang membangunkanku? Kemana orang- orang serumah, ya?
            “Ma..., mama...! “Aku mengetuk pintu kamar mama untuk membangunkannya. Tak ada jawaban. Aku langsung ke kamar mandi. Selesai mandi, cepat-cepat aku berpakaian dan menyambar tas di atas meja belajar. Buku-buku kumasukan seadanya. Melewati kamar mama, aku lagi-lagi heran. Pintu kamar mama masih terkunci rapat. Dentang jam dinding menunjukkan pukul tujuh tepat membuatku tak sempat berpikir panjang. Melewati pintu depan yang terasa lebih ringan dari biasanya aku langsung menyetop becak. Sialan, si abang becak malah cuek aja. Berlari kecil aku mengejar becak yang seolah tak memperdulikanku. Aku melompat naik.
            “Ratu 2 Bang, “kataku pada tukang becak yang tetep cuek.
Becak melaju santai. Berkali-kali aku melotot pada tukang becak, tapi dia seolah menggangapku tak ada.
            “becak,” panggil seorang ibu.
            Herannya becak menepi dan si ibu yang bertubuh subur naik hingga aku hampir terjepit. Cepat-cepat aku melompat turun sambil menggerutu. “Memangnya angkot.” Becak sudah ada penumpangnya kok di-stop. Mana becaknya mau lagi. Memangnya tak ada becak lain. “Aku ngedumel panjang-pendek.
            Akhirnya sampai juga aku di depan gerbang. Pak mukri berdiri di depan pos. Aku melewatinya sambil menunduk. Dia paling sering menegurku karena aku suka melinting lengan bajuku. Tapi kali ini beliau tak memperdulikan aku. “mungkin dia bosan menegurku terus,” pikirku.
            Sesampaiku didalam kelas, tak ada seorang teman yang menyapaku. Aku mulai bingung dengan kondisi ini. Semuanya tidak seperti biasanya, semua orang terlihat murung. “ada apa dengan mereka?” gerutuku dalam hati. Aku berjalan menghampiri teman sebangku ku. Aku duduk disampingnya, tapi dari raut mukanya tidak respon sedikitpun dari kedatanganku.
“Hai, Fira...!!!” sapaku pada teman sebangku ku.
Setelah menunggu beberapa menit, tak ada satu kata yang terlontar dari mulutnya. Tetapi ia menjawab lewat raut wajah yang menyedihkan, mata berkaca-kaca, dan pikiran yang kosong, entah memikirkan apa. Aku mulai heran dan timbul tanda tangan besar di otakku
            Kesana kemari aku bertanya pada orang yang ku temui, tapi tak ada satu jawabanpun yang terlontar dari mulut mereka.
“mungkin Nila bisa menjawab pertanyaaanku,” kataku dalam hati.
            Nila adalah sahabat terbaikku, dia yang selalu menemaniku di saat suka dan duka. Tapi kemana dia? Dari tadi nggak kelihatan. Semua sudut sekolah telah ku telusuri untuk mencari Nila, tapi tak juga ku jumpai. Dan akhirnya sampailah aku di tingkat dua ruang kelas ini sambil menatap puncak Bukit  Barisan dengan perasaan gundah.
“sungguh menyebalkan” gerutuku dalam hati.
            Sudah hampir setengah jam aku memandangi puncak Bukit Barisan, tapi hatiku semakin gundah. Tak lama kemudian Nila berlari-lari kecil di arah kananku. Dia sedang mendapat telepon dari seseorang. Aku mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa, baru lima langkah ku mengikutinya. Nila terdiam dan handphone yang ada di genggamannya terjatuh, ia menangis tersedu-sedu. Aku semakin penasaran dengan semua ini.
            “Nil, ada apa? Kamu kenapa? Nil lihat aku..! jawab pertanyaanku..! Apa yang terjadi..? kenapa semua begini..? Terakku dihadapan Nila.
            Tak satu katapun keluar dari mulut Nila, dia juga tak memandang wajahku, dia terjatuh dan tertunduk lesu tak berdaya dilantai. Aku masih berusaha untuk bicara dengan Nila, tapi usahaku sia-sia. Tak lama kemudian Nila bangkit dan berlari menuju ke pintu gerbang, aku masih mengikuti Nila.
            Di depan pintu gerbang Nila menghentikan becak. Ia bicara dengan abang tukang becak untuk mengantarkannya kerumah sakit. Ku putuskan untuk duduk di sebelah Nila. Di sepanjang jalan aku bertanya-tanya dalam hati, siapa yang sakit? Kenapa aku tidak di kasih tau? Kenapa Nila semakin larut dalam kesedihan. Entah apa yang membuat Nila sampai begini, aku bingung, aku merasa tak berguna sebagai sahabat.
            Di lobi Rumah Sakit, Nila tergesa-gesa menuju ke suatu ruangan opname. Aku sangat terkejut, kenapa di depan kamar itu ada Mama Papa? Mama menangis di pelukan Papa Nila juga menangis.
            Aku berjalan menuju Mama dan Papa, sebelum aku menghampirinya, aku menengok ke jendela ruang opname tempat Mama dan Papa duduk. Sungguh mengejutkan ternyata yang terbaring di dalam ruang itu adalah aku. “terus aku ini siapa?”. Pikirku dalam hati. Aku mengingat semua kejadian aneh yang ku alami sejak aku bangun tidur tadi pagi. Di mulai aku bangun kesiangan, tak ada yang bangunin, rumah dalam keadaan kosong, lewat pintu terasa ringan, menyetop becak tak berhenti, Pak Mukri tak menegurku dan teman-teman yang tak menyapaku. Serta Nila yang tak menjawab semua pertanyaanku. Aku baru sadar ini hanyalah rohku, aku juga baru ingat kemarin aku habis kecelakaan setelah pilang dari rumah Nila. Aku di tabrak truk yang sedang melaju kencang ketika aku menyebrang jalan, dan aku koma sampai sekarang.
            “Nil bagaimana ini? Keadaan semakin parah.” Kata Papa pada Nila.
            “ya Om.. mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa padanya.” Jawab Nila.
            “semoga saja, Dokter sedang memeriksa keadaan di dalam.” Tutur Papa. Nila menghela nafas panjang.
            Tiba-tiba Dokter keluar dari ruang opname. Dari raut wajah Dokter aku sudah yakin bahwa sudah terjadi sesuatu pada ragaku. Aku masuk kedalam ruangan opname. Sedangkan Mama, Papa dan Nila bercakap-cakap dengan Dokter diluar ruangan. Di ruang tersebut hanya ada satu perawat yang sedang menutupi seluruh tubuhku dengan kain kafan dan itu artinya aku sudah meninggal. Kini aku sudah beda alam dengan Mama, Papa dan Nila. Aku sedih sekali.
            Mama, Papa dan Nila juga ikut sedih, terlebih aku adalah anak semata wayang Mama dan Papa. Kini aku hanya bisa pasrah. Aku sudah tidak mungkin kembali disamping mereka.
            Kini tinggal penyesalan yang meliputiku. Aku nyesel nggak nuruti semua permintaan Mama, aku sedih aku belum bisa banggain Mama dan Papa. Aku nyesel, aku sering bantah guru, sering melanggar peraturan sekolah. Dan sekarang aku hanya bisa pasrah, semuanya sudah tidak bisa ku perbaiki lagi. Kini tinggal pertanggung jawabanku dihari nanti.



3 komentar: